"Biarkan saya mati."
Serem banget mendengar kalimat di atas. Apalagi keluar dari mulut kepala keluarga. Halloooo….. apa ada yang salah dengan aliran saraf di otak? Atau mungkin sedang hang atau konslet seperti aliran listrik?
Entah apa yang mendasari keluarnya ucapan itu. Tapi ada di luar sana, seseorang mengatakan hal mengerikan itu. Mungkin perbandingannya 1 : 1,000,000.
Kenapa saya mengangkat hal ini? Karena memang ada, orang yang memilih mati jika terserang penyakit.
Kapan tepatnya waktu kejadian itu saya lupa. Tapi waktu itu saya memang sedang menjalankan tugas sebagai Agen Prudential. Saya membuat janji temu dengan beliau, anggap saja bernama A, untuk ngobrol-ngobrol sersan – serius santai. Setelah diinformasikan mengenai Produk Prudential dan sebagainya, Bapak A ini yang menurut perhitungan kami bisa menyisihkan uang untuk bayar premi, masih mempertimbangkan untuk mengambil polis.
Biasa lah. Banyak orang yang entah kenapa mikir 1000x untuk nabung. Apalagi ambil asuransi. Sedangkan kalau ditawari kartu kredit meski dengan iming2 free annual fee tahun pertama atau dapat hadiah, banyak yang langsung setuju dan gak pikir-pikir lagi.
Padahal, kartu kredit membiasakan orang untuk berhutang. Meski memang, ada kelebihan tersendiri memakai kartu kredit, yaitu jika ada kejadian darurat dan sedang tidak memegang uang cash, kartu kredit merupakan alternative jitu untuk mengatasi masalah tersebut.
Tapi berapa banyak orang yang menggunakan kartu kredit hanya untuk keadaan darurat dan bukan untuk memenuhi hasrat konsumtif di dalam diri mereka?
Pastinya ada. Tapi hanya sebagian kecil. Sisanya? Pakai kartu kredit untuk keperluan konsumtif. Contohnya saja saya. :D Dan bukan berarti tindakan saya benar lho. ;)
Dan balik lagi, siapa pun setuju bahwa berhutang itu jika bisa dihindari, harus dihindari. Kenapa? Karena terbiasa berhutang tentunya tidak baik. Apalagi ditambah dengan bunga. Yang bisa terus berbunga mencekek leher. Uang gajian habis untuk terus bayar bunga (pengalaman pribadi ).
Tapi ada yang bilang, jaman segini gak berhutang? Gak akan punya apa-apa!
Pernyataan di atas tidak salah. Tapi kalau bisa mengumpulkan uang dan beli sesuatu cash dan tidak kena bunga? Pilih mana? Meski sekarang bunga pinjaman relative kecil, tapi balik lagi, kondisi yang dibuat nyaman untuk terus berhutang, hanya akan menjadikan seseorang tambah konsumtif. Beli sesuatu tidak pikir panjang keperluaannya apa, tapi karena bisa gesek bunga rendah, barang yang tidak butuh menjadi butuh hanya karena lapar mata.
Jadi, kapan kayanya?
Apakah kaya bisa didapat dengan cara berhutang? Karena yang namanya hutang itu, harus dibayar plus bunga yang berlaku.
Oke, balik lagi ke topik semula. Karena membahas plus minus kartu kredit bisa dilain waktu dan kesempatan. Sebab di dunia ini semua itu ada sisi positif dan negative-nya.
Bapak A teman saya itu kemudian mengatakan bahwa,beliau memiliki penyakit jantung bawaan sejak kecil. Itu lah alasan kenapa telapak tangannya sering kali basah, sampai sapu tangan nya gonta-ganti terus setiap hari. Dan memang, dari dulu si A ini terkenal memiliki tangan basah. Apalagi kalau sedang sress, bisa-bisa keringat di tangannya seperti orang habis cuci tangan.
Saya malah semakin kuat mendorong si A untuk ambil polis. Meski belum tahu apakah bisa disetujui atau tidak dengan riwayat penyakit seperti itu. Tapi kan setidaknya mencoba, toh gak ada ruginya. Kalau ternyata pengajuan SPAJ ( Surat Pengajuan Asuransi Jiwa) ditolak, premi awalnya dikembalikan langsung tanpa dipotong sepeser pun.
Sudah tahu memiliki penyakit gawat, tapi gak mau berusaha memiliki perlindungan. Bukan Cuma buat dirinya sendiri, tapi buat keluarganya supaya gak kerepotan jika suatu ketika penyakit itu berubah menjadi ganas.
Dan beliau berkata, “Kalau saya kenapa-kenapa, saya tidak perlu diobati. Biarkan saja mati. Istri saya bisa kembali ke rumah orang tuanya beserta anak kami. Dan mereka bisa menjalani kehidupan tanpa harus terbebani oleh saya. Karena saya tidak mau merepotkan keluarga.”
WAAAAAAA…………..
Waktu dengar pernyataan itu, saya hanya bisa melongo kayak sapi ompong. Otak gak bisa berpikir untuk mengeluarkan bantahan atau sanggahan atau apa pun. Saya begitu shock!
Saya bisa melihat ‘rasa tidak ingin menyusahkan’ pada kalimat itu. Tapi, kesan kuat yang saya tangkap adalah : “Bagaimana seseorang bisa sebegitu egois-nya?”
Lho? Kenapa saya malah menangkap kesan egois? Mungkin Anda tidak sependapat dengan saya. Tapi menurut saya, seorang Ayah atau Suami yang langsung menyerah dengan keadaan dan tidak ingin lagi memikul tanggung jawab terhadap diri Istri atau anaknya adalah merupakan pribadi yang egois luar biasa.
Hmm…. Apa ada yang bingung dengan jalan pikiran saya? Oke, saya jabarkan satu persatu.
· Dalam Agama Islam, terkenal salah satu Hadist Muslim yaitu ada 5 Hal sebelum 5 perkara. Hal tersebut adalah : Kaya sebelum miskin, Muda sebelum Tua, Sehat sebelum Sakit, Lapang sebelum Sempit, Hidup sebelum Mati.
Nah, sebagai pemeluk agama Islam, sudah selayaknya A tahu akan hal itu. Bahkan sudah dijadikan lagu rohani. :D
5 hal sebelum 5 perkara tersebut sudah merupakan ketentuan. Bahwa tidak selamanya hidup ini enak terus. Tidak selamanya hidup di atas terus. Seperti roda yang berputar, ada kalanya di atas dan ada kalanya di bawah.
Dan sebagai umat Muslim pun, diwajibkan untuk terus berusaha diiringi doa untuk mengubah hidup. Tidak boleh menyerah begitu saja.
Jodoh, rejeki dan maut memang datangnya dari Tuhan. Tapi, jika tidak coba diraih, mana bisa dapat? Apakah dengan sikap malas-malasan tanpa ada usaha dan meski terus berdoa saja bisa mendatangnya uang? TIDAK. Begitu juga dengan jodoh. Apakah kalau tidak bergaul bisa mendapatkan jodoh? TIDAK juga. Meski dengan taaruf, tapi kan semua itu terjalin karena adanya ikatan silahturahmi. Dan juga karena saling kenal terlebih dahulu. Walau yang kenal itu orang tua dengan orang tua. Bagaimana mungkin bisa taaruf antara orang di benua Asia dan yang di Benua Eropa (misalkan), kalau tidak ada silahturahmi sebelumnya? Yang ada malah dicap tidak waras. Dan maut memang datangnya dari Tuhan. Sudah digariskan. Tidak dapat ditunda ataupun dipercepat. Tapi ya kalau setiap hari makan-makanan junk food dan tidak diimbangi dengan pola hidup sehat, hal tersebut dapat menyebabkan kematian.
Apalagi A adalah seorang kepala keluarga dan menurut saya, beliau cukup paham dan mengerti dalam ilmu Agama-nya. Kenapa bisa mengatakan hal sedemikian rupa? Memangnya ada, seorang anggota keluarga yang bisa berdiam diri dan santai-santai jika ada anggota keluarganya, terlebih orang tua atau anak, yang menderita sakit didiamkan saja berbaring menunggu ajal?
Di dunia ini, rasanya tidak ada yang seperti itu. Semua orang berusaha agar orang yang dikasihi bisa sembuh. Meski mereka harus mencari uang atau pun harus menjual asset berharga. Karena nyawa itu adalah hal yang paling berharga. Karena ketika nyawa melayang, tidak mungkin bisa dikembalikan. Memangnya barang bisa diambil atau dibeli?
Oke lah, benar. Tidak mau merepotkan keluarga dan tidak takut mati. Tapi ya kalau tidak mau merepotkan keluarga, proteksi diri sendiri. Bukannya pasrah menyerah dan bersikap pengecut seperti itu. Dengan proteksi, bukan hanya tidak merepotkan orang lain, tapi juga bisa membantu keluarga dengan nilai Pertanggungan Jiwa-nya. Gak susah, kan? Dan pastinya tidak merepotkan.
Saya benar-benar heran jika ada orang yang berpendapat seperti A. Apalagi anak A seorang gadis. Bayangkan, jika anak si A menikah nanti dan tidak didampingi oleh salah satu orang tuanya karena orang tuanya lebih memilih mati dibandingkan untuk terus berjuang menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya sebagai orang tua.
Coba posisikan diri sebagai anggota keluarga. Kalau ada anggota keluarga yang sakit tapi bisa santai-santai saja tidak menganggap dan tidak perduli, maka boleh memilih untuk cepat-cepat mati.
Tapi kalau tidak bisa berbuat tidak berperikemanusiaan seperti itu, maka jangan berpikiran konyol.
· Kalau ada yang bisa menduga bahwa ketika musibah sakit dari Tuhan bisa datang dalam bentuk penyakit ganas yang sedetik kemudian bisa langsung meninggal, maka tidak perlu berasuransi. Karena pastinya hal tersebut tidak akan menyulitkan orang lain. Meski keluarga tetap harus mengeluarkan uang (LAGI!) untuk biaya penguburan.
Tapi kalau tidak bisa menduganya, maka jangan ambil resiko untuk menyusahkan keluarga.
Karena yang terjadi di kehidupan, presentase orang yang meninggal karena sakit kritis lebih banyak dibandingkan orang yang meninggal mendadak.
Dan jika sudah sakit kritis, tidak ada yang tahu apakah bisa langsung meninggal atau kah ternyata masih ada harapan hidup. Dan sebagai manusia, pasti anggota yang lain menginginkan anggota keluarga yang sakit kembali pulih dan bersama mereka. Oleh karena itu, anggota yang lain akan membayar berapa pun biaya untuk menyembuhkan. Dan biaya rumah sakit gak murah, Bung. Laju kenaikannya lebih pesat dibandingkan laju kenaikan gaji. Kalau gak ada asuransi, mau bayar pakai apa? Daun?
Jadi, bisa sedikit paham kan mengapa saya mengatakan orang yang menyerah dan ingin mati saja itu tergolong orang yang egois tingkat Dewa? Karena orang tersebut tidak memperdulikan perasaan. Ya benar, perasaan orang yang ditinggalkan. Tidak ada siapa pun, yang rela orang tua atau anaknya cepat menghadap Tuhan. Tapi kalau sudah takdir, tidak dapat dihindari. Dan karena memang tidak dapat dihindari, apa salahnya, memproteksi penghasilan keluarga yang ditinggalkan agar mereka menjalani hidup dengan lebih tenang meski ditinggalkan oleh sumber penghasil uang?
Tolong, jangan berpikiran egois. Pikirkan kehidupan dan masa depan orang yang Anda kasihi. Karena kalau bukan Anda, siapa lagi?
0 komentar:
Posting Komentar